PENYAKIT GUMBORO (INFECTIOUS BURSAL DISEASE) PADA AYAM
PENYAKIT GUMBORO (INFECTIOUS BURSAL DISEASE) PADA AYAM selaku pilihan yang bagus buat kalian yang pengen mencari solusi keterangan mencabut. Beberapa keterangan lainnya bisa kalian dapatkan disini oleh baik.
Penyakit Gumboro ataupun Penyakit Infectious Bursal Disease (IBD) ialah penyakit pada ayam yng pertama kali dilaporkan oleh Cosgrove pada tahun 1962 didasari kasus yng terlaksana pada tahun 1957 di desa Gumboro-Delaware, negara bagian Amerika Serikat. Sesuai yang dengannya nama asal daerah ditemukannya, penyakit ini dikenal pun menjdai Gumboro. Penyebab penyakit gumboro (IBD) merupakan virus yng berbentuk icosahedral yng terdiri dari 2 segmen untaian ganda RNA, yng salah satunya intern famili Birnaviridae (Lukert serta Saif, 2003) Virus very virulent IBD (vvIBDv) bersifat Amat menular serta akut, memicu bilangan morbiditas serta mortalitas yng tinggi. Penyakit ini berdampak ekonomis lantaran menyerang organ pertahanan ayam yakni bursa Fabricius menjadikan merugikan peternak. Ayam yng terserang gumboro (IBD) selaku rentan terhadap infeksi sekunder, serta menghasilkan kegagalan vaksinasi (Lukert serta Saif, 2003).
NAMA LAIN Nama lain: Infectious Bursal Disease (IBD), Avian nephrosis ataupun Avian Infectious Bursitis. Adalah penyakit menular akut pada ayam berumur muda yng ditandai yang dengannya peradangan berat bursa fabrisius serta bersifat immunosupresif yakni lumpuhnya system pertahanan tubuh ayam yng menghasilkan turunnya respon ayam terhadap vaksinasi serta ayam-ayam selaku bertambah peka terhadap pathogen lain-lainnya.
ETIOLOGI Virus penyebab Gumboro (IBD) yng dikenal era ini terdiri dari 2 serotipe yakni serotipe 1 serta serotipe 2 yng bisa menginfeksi ayam serta kalkun. Serotipe 1 yng pertama kali didapati disebut yang dengannya strain klasik yng bersifat patogen serta strain yng didapati lantas di daerah Amerika ialah strain varian yng Amat ganas yakni very virulent IBD (vvIBD). Virus IBD yang telah di sebutkan ialah hasil mutasi dari virus klasik, tengah serotipe 2 tak bersifat ganas. Kedua serotipe bisa dibedakan yang dengannya uji virus netralisasi (VN) mau tetapi tak bisa dibedakan yang dengannya Flourescent Antibody Technique (FAT) serta Enzyme Linked Immunosorbent Assay (Elisa) (Lukert serta Saif, 2003). Virus IBD berdiameter 55 nm, ialah virus yng tak mengantongi amplop serta dikelilingi oleh protein capsid yng berbentuk ikosahedral (Hirai serta Shimakura, 1974). Virus ini tergolong intern famili Birnaviridae. Sesuai yang dengannya namanya, virus terdiri dari 2 segmen utas ganda RNA, yakni segmen A mengantongi ukuran 3300 pasang basa, yng terdiri dari 2 bagian Open Reading Frame, yakni A1 serta A2.
PATOGENESIS Patogenesis merupakan jalannya virus menjadikan memicu lesi, yng bisa memicu kematian, penyakit ataupun efek imunosupresif pada ayam. Penyakit Gumboro (IBD) menyerang ayam umur 3 – 6 minggu pada era perkembangan bursa Fabricius mencapai optimum. Pada era yng percis antibodi asal induk tiba menurun, menjadikan ayam rentan terhadap infeksi virus IBD. Sebaliknya, penyakit Gumboro (IBD) tak membahayakan distribusi ayam yng sudah mengalami regresi bursa Fabricius, lantaran target sel virus IBD merupakan sel limfoid bursa Fabricius yng telah matang. Infeksi IBD memicu kerusakan pada bursa Fabricius yng berupa nekrosis serta apoptosis pada sel limosit B Infeksi pada biasanya menggunakan oral bersama pakan yng tercerna virus masuk ke intern usus. Virus lantas ditangkap oleh sel makrofag ataupun limfosit menjdai Antigen Precenting Cell (APC). Keberadaan IBD bisa dideteksi 13 jam paska infeksi pada sebagian besar folikel (Van Den Berg, 2000). Penyebab kematian belum diketahui secara pasti. Akan tetapi demikian pada fase akut teramati sindroma septic shock, dimana terlaksana respon imun yng berlebihan, yng ditandai yang dengannya peningkatan konsentrasi TNF-α yng berlebihan di intern serum darah ayam, yng lantas diikuti terjadinya kematian (Sharma et al. intern Asraf, 2005). Infeksi virus IBD yng ganas memicu kerusakan yng parah sampai-sampai terlaksana deplesi sel limfoid pada folikel bursa Fabricius, menjadikan ukuran bursa terlihat mengecil, sampai-sampai mencapai 1/4 – 1/5 dari ukuran bursa Fabricius pada ayam kontrol. Bila tak terlaksana penyembuhan pada bursa Fabricius ayam, mau memicu hambatan produksi antibodi yng dibentuk oleh sel B. Selain itu pada infeksi IBD kagak segelintir sel makrofag serta sel heterofil yng mengalami nekrosis serta apoptosis memicu fungsi fagositosis yng menurun (Lam, 1998). Kedua kondisi yang telah di sebutkan memicu ayam yng terinfeksi IBD selaku imunosupresif.
GEJALA KLINIS Gejala klinis yng terlihat Amat bergantung dari strain virus yng menginfeksi ayam, jumlah virus, umur, galur ayam, rute inokulasi serta keberadaan antibodi penetralisasi (Muller et al., 2003). Virus yng masuk ke intern tubuh ayam ditangkap makrofag, yng lantas melepaskan sitokin yng memicu respon inflamasi. Gejala klinis ditimbulkan oleh infeksi IBD merupakan ayam lesu, nafsu makan menghilang serta sayap menggantung (Park et al., 2009; Acribasi et al., 2010). Selain itu pun Suka didapati gejala diare, serta kotoran yng menempel pada kloaka (Parede et al., 2003). Pada ayam muda tanpa antibodi maternal, gejala klinis tiba terlihat pada 48 jam pi serta gejala klinis makin parah pada 56 – 72 jam paska infeksi (William serta Davison, 2005). Sementara itu, pada ayam yng divaksinasi, gejala klinis terlihat 3 hari pasca tantang, serta ayam-ayam yang telah di sebutkan mati sesudah 2 – 3 hari memperlihatkan gejala klinis (Park et al., 2009). Ayam yng bertahan hidup, pertumbuhan selaku terhambat serta Suka kali didapati infeksi sekunder semisal Newcastle Disease, Coli Bacillosis serta Coccidiosis (Muller et al., 2003). Wabah IBD akut yng penyebabnya yaitu virus IBD klasik yng menyerang ayam pedaging umur > 3 minggu ditandai yang dengannya bilangan morbiditas yng tinggi mau tetapi secara klinis terlihat ada penyembuhan sesudah 5 – 7 hari ayam sakit. Infeksi pada ayam yng mengantongi antibodi maternal menunjukan gejala subklinis, mau tetapi lesi bisa diamati secara histopatologik (Lukert serta Saif, 2003)
DIAGNOSIS Diagnosis penyakit gumboro (IBD) bisa ditegakkan didasari pada gejala klinis, perubahan patologi anatomi serta histopatologi. Perubahan patologi yng patognomonik merupakan perubahan yng didapati pada bursa Fabricius. Akan tetapi demikian, diagnosis gumboro (IBD) menjdai penyebab primer butuh ditunjang yang dengannya teknik diagnosis yng lain lantaran gejala infeksi virus gumboro (IBD) mirip yang dengannya ND ataupun penyakit lain penyebab imunosupresif. Hal ini mampu diatasi yang dengannya pewarnaan imunohistokimia, distribusi atau bisa juga dikatakan kepada mendeteksi keberadaan antigen virus IBD pada organ bursa Fabricius. Antigen virus IBD bisa dideteksi 3 jam paska infeksi pada bagian korteks folikel limfoid bursa Fabricius. Antigen bisa dideteksi pada makrofag di intern folikel bursa Fabricius serta pada sel epitel 96 jam paska infeksi (Oladele et al., 2009). Keberadaan antigen IBD pada bursa Fabricius berkorelasi positif yang dengannya terjadinya lesi pada bursa Fabricius (Rautenschlein et al., 2005). Antigen virus IBD pun terdeteksi pada organ timus, limpa, secal tonsil, sel epitel tubulus serta glomerulus ginjal, lapisan mukosa serta glandula pada proventrikulus serta pada sel Kupffer pada hati (Oladele et al., 2009). Antigen virus IBD pun bisa dideteksi pada itik serta kalkun yng diinfeksi yang dengannya virus IBD, mau tetapi demikian jumlah antigen yng dideteksi relatif bertambah kagak banyak (Oladele et al., 2009) Diagnosis penyakit gumboro (IBD) bisa pun di lakukan yang dengannya cara mengisolasi virus yng diduga menjdai penyebab, yng ditumbuhkan pada telur ayam berembrio berumur 11 hari ataupun biakan jaringan, mau tetapi dibutuhkan waktu relatif lama serta tak seluruh strain virus IBD bisa tumbuh di telur ataupun biakan jaringan. Teknik uji netralisasi virus bisa dipakai distribusi atau bisa juga dikatakan kepada mendeteksi IBD, serta dari hasil deteksi bisa dibedakan jarak IBD klasik serta IBD varian (Oie, 2008). Sedangkan Antigen-capture ELISA bisa dipakai distribusi atau bisa juga dikatakan kepada membedakan jarak IBD Amat virulen yang dengannya IBD yng kagak bertambah patogen. Sementara itu, teknik RT-PCR bisa membedakan serotipe IBD, sedangkan subtipe IBD bisa dibedakan yang dengannya real-time RT-PCR (Currie, 2002). Virus IBD bisa dideteksi pada jaringan yng sudah dibuat menjdai blok parafin yang dengannya real time RT-PCR serta hasil nya menunjukan bahwasanya ada korelasi positif jarak lesi serta hasil deteksi antigen (Hamoud serta Villegas, 2006).
PENYEBARAN Penyebaran penyakit telah sampai ke Indonesia pada tahun 1983, disaat didapati kasus di Sawangan, Bogor (Partadiredja et al., 1983). Pada periode tahun 1990-an, penyakit IBD sudah menyebar ke aneka macam wilayah di Indonesia serta hasil isolasi serta identifikasi menunjukan bahwasanya hampir seluruh isolat yng diperoleh berkerabat dekat yang dengannya virus very virulent IBD (vvIBDv) (Parede et al., 2003). Penularan penyakit gumboro dari satu ayam ke ayam lain Amat cepat intern waktu singkat ( 18 - 36 jam) seluruh ayam intern sangkar bisa ketularan. Kematian terlaksana pada hari ke-3 sampai ke-5. Penybaran benih-benih penyakit menggunakan makanan,minuman minum, instrumen-instrumen serta tempat-tempat yng tercemar oleh feces serta makanan yng dimuntahkan. Virus penyakit gumboro stabil serta resisten, bisa dipindahkan satu tempat ketempat yng lain oleh orang, instrumen-instrumen peternakan yng tercemar. Sebuah peternakan yng pernah terjangkit Virus gumboro, maka Virus ini mau tetap infektip serta berdiam intern peternakan yang telah di sebutkan distribusi atau bisa juga dikatakan kepada waktu yng lama. Pendapat dari penelitian virus gumboro bisa hidup sampai 122 hari. Tak ada carrier (hewan yng sembuh serta mwngandung virus yng dapa6t ditularkan). Penyakit ini tak bisa dipindahkan menggunakan telur yng ditetaskan serta diduga pun tak bisa disebakan menggunakan udara.
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN Bisnis pencegahan serta pengendalian agar bisa gumboro tak mewabah merupakan: a. Melakukan sanitasi lingkungan secara terjadwal, yang dengannya disinfektan. b. Memberikan kondisi confortable pada ayam bertambah-bertambah pada masa brooder, suhu brooder sesuai yang dengannya kebutuhan putri ayam. Disesuaikan pun kondisi lingkungan, andaikan suhu lingkungan Amat panas suhu brooder mampu disesuaikan. Pemberian pakan mengantongi kualitas serta minum yang dengannya vitamin elektrolit serta anti strees. Perlakuan putri sangkar yng baik, lantaran andaikan perlakuan tak baik bisa menghasilkan stress pada ayam, yang dengannya stress bisa menurunkan system kekebalan tubuh. Pengendalian terhadap penyakit IBD yng efektif merupakan yang dengannya melakukan program vaksinasi yng teratur disertai yang dengannya program biosekuritas, diikuti yang dengannya deteksi titer antibodi distribusi atau bisa juga dikatakan kepada memahami kesuksesan vaksinasi yang dengannya uji serum netralisasi ataupun ELISA (Oie, 2008) 1. Vaksinasi Vaksinasi pada ayam pembibit ialah langkah terpenting distribusi atau bisa juga dikatakan kepada mengendalikan gumboro (IBD), lantaran antibodi yng diproduksi induk mau diturunkan menggunakan telur kepada putri. Antibodi maternal yang dengannya titer yng baik mau memproteksi ayam melawan penyakit gumboro (IBD). Menjdai semisal, program vaksinasi pada ayam petelur bisa di lakukan pada umur 12 sampai 15 hari yang dengannya vaksin IBD energik. Pada umur 30 – 33 hari yang dengannya vaksin IBD energik serta pada umur 85 hari yang dengannya vaksin inaktif, serta pada umur 120 hari yang dengannya vaksin inaktif (Butcher serta Milles, 2003). Vaksinasi ulang pada umur 38 – 40 minggu yang dengannya vaksin inaktif butuh di lakukan andai ayam pembibit mengantongi titer antibodi yng rendah ataupun tak seragam. Monitoring titer antibodi butuh di lakukan secara rutin distribusi atau bisa juga dikatakan kepada memahami apakah ayam sudah memberikan respon yng baik ataupun distribusi atau bisa juga dikatakan kepada memahami perangkat lunak vaksin telah di lakukan yang dengannya benar ataupun belum. Pencegahan serta pengendalian penyakit IBD pada ayam pedaging komersial dibutuhkan distribusi atau bisa juga dikatakan kepada mencegah penyakit IBD yng bersifat klinis. Ada tiga kategori vaksin yng digolongkan didasari patogenisitasnya yakni; mild, intermediate serta virulent. Tipe vaksin IBD intermediate paling umum dipakai. Vaksin ini bisa menstimulasi ayam pedaging intern memproduksi antibodi bertambah awal dari pada tipe vaksin mild, tanpa memicu kerusakan bursa Fabricius semisal pada tipe vaksin virulen (Oie, 2008). Waktu vaksinasi bergantung pada titer antibodi maternal pada putri ayam. Titer antibodi maternal yng tinggi mau menetralisasi virus yng bersumber dari vaksin. Jadi cuma kagak banyak respon kekebalan energik yng mau diperoleh, menjadikan ayam mau gampang terinfeksi penyakit lantaran antibodi menurun, serta vaksinasi boleh jadi selaku tak efektif andai ayam terkontaminasi yang dengannya virus IBD lapang yng bertambah virulen. Vaksinasi IBD pada embrio ialah pengganti vaksinasi yng memberikan keunggulan dibandingkan yang dengannya vaksinasi sesudah menetas yng umum dipakai. Hal ini penyebabnya yaitu lantaran pada vaksinasi in ovo, titer antibodi maternal tak butuh dimonitor distribusi atau bisa juga dikatakan kepada menetapkan kapan vaksinasi Perlu di lakukan. Selain itu, hasil penelitian menunjukan bahwasanya vaksinasi in ovo yang dengannya virus yng sudah diatenuasikan tak merusak bursa Fabricius serta bisa memberikan proteksi sampai-sampai 100% pada ayam yng ditantang pada umur 3 minggu (Moura et al., 2007). Meskipun vaksinasi memicu perubahan HP pada organ bursa mau tetapi penyembuhan bertambah cepat terlaksana pada ayam yng divaksin in ovo daripada yng divaksin pascamenetas (Rautenschlein serta Haase, 2005). Akan tetapi, kelemahan vaksin ini merupakan memerlukan instrumen vaksin masal serta ukuran telur yng seragam menjadikan perangkat lunak vaksin benar pada posisi yng dimau-kan. 2. Biosekuritas Selain vaksinasi pelaksanaan terhadap program biosekuritas yng pun ialah faktor penting intern meminimalkan kerugian akibat infeksi IBD. Cserep menyatakan bahwasanya pada peternakan yng bebas dari Gumboro subklinis mau memperoleh keuntungan 25% bertambah besar, dibandingkan pada peternakan yng didapati kasus gumboro subklinis (Cooper, 2011). Upaya distribusi atau bisa juga dikatakan kepada melaksanakan biosekuritas yang dengannya melakukan desinfeksi terhadap orang, perlengkapan ataupun kendaraan yng melintas antar sangkar pada ayam pedaging komersial butuh dikontrol menjadikan berjalan efektif distribusi atau bisa juga dikatakan kepada menurunkan paparan dari agen infeksi. Fenol serta formaldehid sudah terbukti efektif dipakai distribusi atau bisa juga dikatakan kepada desinfeksi sangkar serta lingkungan yng terkontaminasi. Antibiotik yang dengannya jumlah seminimal boleh jadi diberikan pada kasus gumboro (IBD) yng disertai infeksi sekunder oleh bakteri. Akan tetapi hal ini tak disarankan pada kasus yng disertai yang dengannya kerusakan ginjal yng Amat parah. Pemberian larutan elektrolit ataupun multivitamin Amat berguna pada kasus penyakit yng berlangsung lama yng disertai penurunan nafsu makan. Ventilasi yng baik, suhu ruangan yng Anget serta minuman minum yng bersih mau mengurangi kematian. Sesudah ayam dipanen, sangkar Perlu dikosongkan dari seluruh unggas. Seluruh litter, sisa pakan Perlu dibuang, sangkar Perlu dibersihkan serta didesinfeksi. Fumigasi butuh di lakukan mempergunakan formaldehyde serta Kalium permanganat. Sangkar Perlu dikosongkan minimal 3 minggu sesudah di lakukan fumigasi, distribusi atau bisa juga dikatakan kepada bisa dipakai lagi.
KESIMPULAN Penyakit gumboro (IBD) ialah penyakit viral yng bersifat infeksius serta menular, memicu efek imunosupresif. Kerugian ekonomi yng ditimbulkan Amat besar lantaran memicu kegagalan program vaksinasi. Diagnosis bisa di lakukan didasari perubahan patologik yng diperkuat yang dengannya deteksi antigen virus yang dengannya teknik IHK. Pencegahan yang dengannya memberikan vaksinasi sudah rutin di lakukan, mau tetapi kasus masih Suka terlaksana. Penggunaan vaksin yng potensial serta diberikan pada era antibodi maternal telah menurun ataupun yang dengannya mempergunakan vaksin in ovo yng era ini telah bisa didapati di pasaran, diharapkan bisa mengurangi kasus yng terlaksana di lapangan. Telah saatnya dibuat vaksin isolat lokal yng diharapkan bertambah protektif dibandingkan yang dengannya vaksin isolat luar, lantaran sesuai yang dengannya virus yng ada di lapang.
Postingan ini ane resume dari makalah milik : Wahyuwardani, S., Agungpriyono, Parede, L., Manulu, w., 2011. Penyakit Gumboro: Etiologi, Epidemiologi, Patologi, Diagnosis Serta Pengendaliannya. Wartazoa Vol. 21 No. 3.
DAFTAR PUSTAKA Acribasi, M., A. Jung, E.D. Heller And S. Rautenschlein. 2010. Differences In Genetic Background Influence The Induction Of Innate And Acquired Immune Responses In Chickens Depending On The Virulence Of The Infecting Infectious Bursal Disease Virus (Ibdv) Strain. Vet. Immunol. Immunopathol. 135: 79 – 92. Asraf, S. 2005. Studies On Infectious Bursal Disease Virus. Disertasi.The Ohio University. Ohio. Butcher, G.D. And R.D. Milles. 2003. Infectious Bursal Disease (Gumboro) In Commercial Broilers. Http://Edis.Ifas.Ufl.Edu. (27 Oktober 2008). Currie, R.J.W. 2002. The Use Of A Rt-Pcr/ Rflp Test To Diagnose Ibd Variant Viruses: Implications For Vaccination Programmes Congresso De Ciências Veterinárias Proc. Of The Veterinary Sciences Congress, 2002, Spcv, Oeiras, 10 – 12 Oct. P. 249 Cooper, O. 2011. Biosecurity Key To Beating Gumboro. Poult World 165: 5 Proquest Agriculture J. P. 32. Hamoud, M.M. And P. Villegas. 2006. Identification Of Infectious Bursal Disease Viruses From Rna Extracted From Paraffin-Embedded Tissue. Avian Dis. 50: 476 – 482 Hirai, K, And S. Shimakura. 1974. Structure Of Infectious Bursal Disease Virus. J. Virol. 14: 957 – 964. Lam, K.M. 1998. Alteration Of Chicken Heterophil And Macrophage Functions By The Infectious Bursal Disease Virus. Microb. Pathogen 25: 147 – 155. Lukert, P.D. And Y.M. Saif. 2003. Infectious Bursal Disease. In: Diseases Of Poultry 11Th Ed. Saif, Y.M., H.J. Barnes And J.R. Glisson (Eds.). Iowa State University Press. Pp. 161 – 17. Moura, L., V.V. Vakharia, M. Li And H. Song. 2007. In Ovo Vaccine Against Infectious Bursal Disease. Int. J. Poult. Sci. 6: 770 – 775 Muller, H., M.R. Islam And R. Raue. 2003. Research On Infectious Bursal Disease-The Past, The Present And The Future. Vet. Microbiol. 97: 153 – 156. Oie (Office International Des Epizooties). 2008. Infectious Bursal Disease (Gumboro Disease). In: Terrestrial Manual. Chapter 2.3.12 Oladele, O.A., D.F. Adene, T.U. Obi And H.O. Nottidge. 2009. Comparative Susceptibility Of Chickens, Turkeys And Ducks To Infectious Bursal Disease Virus Using Imunohistochemistry. Vet. Res. Commun. 33: 112 – 121. Parede, L.H., S. Sapats, G. Gould, M. Rudd, S. Lowther, And J. Ignjatovic 2003. Characterization Of Infectious Bursal Disease Virus Isolates From Indonesia Indicates The Existence Of Very Virulent Strains With Unique Genetic Changes. Avian Pathol. 32: 511 – 518. Park, J.H., H.W. Sung, B.Ii. Yoon And H.M. Kwon. 2009. Protection Of Chicken Against Very Virulent Ibdv Provided By In Ovo Priming With Dna Vaccine And Boosting With Killed Vaccine And Adjuvant Effects Of Plasmid-Encoded Chicken Interleukin-2 And Interferon-Γ. J. Vet. Sci. 10(2): 131 – 139 Partadiredja, M., W. Rumawas Serta I. Suharyanto. 1983. Penyakit Gumboro Di Indonesia Serta Akibatnya Bagi Peternak Ayam. Hemerazoa 71(1): 29 – 33. Rautenschlein, S., C.H. Kraemer, J. Vanmarcke And E. Montiel. 2005. Protective Efficacy Of Intermediate And Intermedieate Plus Infectious Bursal Disease Virus (Ibdv) Vaccines Against Very Virulent Ibdv In Commercial Broilers. Avian Dis. 49: 231 – 237. Van Den Berg, T.P. 2000. Acute Infectious Bursal Disease In Poultry: A Review. Avain Pathol. 29: 175 – 194. William, A.E. And T.F. Davison. 2005. Enhanced Immunopathology Induced By Very Virulent Infectious Bursal Disease Virus. Avian Pathol. 34: 4 – 14.
Penyakit Gumboro ataupun Penyakit Infectious Bursal Disease (IBD) ialah penyakit pada ayam yng pertama kali dilaporkan oleh Cosgrove pada tahun 1962 didasari kasus yng terlaksana pada tahun 1957 di desa Gumboro-Delaware, negara bagian Amerika Serikat. Sesuai yang dengannya nama asal daerah ditemukannya, penyakit ini dikenal pun menjdai Gumboro. Penyebab penyakit gumboro (IBD) merupakan virus yng berbentuk icosahedral yng terdiri dari 2 segmen untaian ganda RNA, yng salah satunya intern famili Birnaviridae (Lukert serta Saif, 2003) Virus very virulent IBD (vvIBDv) bersifat Amat menular serta akut, memicu bilangan morbiditas serta mortalitas yng tinggi. Penyakit ini berdampak ekonomis lantaran menyerang organ pertahanan ayam yakni bursa Fabricius menjadikan merugikan peternak. Ayam yng terserang gumboro (IBD) selaku rentan terhadap infeksi sekunder, serta menghasilkan kegagalan vaksinasi (Lukert serta Saif, 2003).
NAMA LAIN Nama lain: Infectious Bursal Disease (IBD), Avian nephrosis ataupun Avian Infectious Bursitis. Adalah penyakit menular akut pada ayam berumur muda yng ditandai yang dengannya peradangan berat bursa fabrisius serta bersifat immunosupresif yakni lumpuhnya system pertahanan tubuh ayam yng menghasilkan turunnya respon ayam terhadap vaksinasi serta ayam-ayam selaku bertambah peka terhadap pathogen lain-lainnya.
ETIOLOGI Virus penyebab Gumboro (IBD) yng dikenal era ini terdiri dari 2 serotipe yakni serotipe 1 serta serotipe 2 yng bisa menginfeksi ayam serta kalkun. Serotipe 1 yng pertama kali didapati disebut yang dengannya strain klasik yng bersifat patogen serta strain yng didapati lantas di daerah Amerika ialah strain varian yng Amat ganas yakni very virulent IBD (vvIBD). Virus IBD yang telah di sebutkan ialah hasil mutasi dari virus klasik, tengah serotipe 2 tak bersifat ganas. Kedua serotipe bisa dibedakan yang dengannya uji virus netralisasi (VN) mau tetapi tak bisa dibedakan yang dengannya Flourescent Antibody Technique (FAT) serta Enzyme Linked Immunosorbent Assay (Elisa) (Lukert serta Saif, 2003). Virus IBD berdiameter 55 nm, ialah virus yng tak mengantongi amplop serta dikelilingi oleh protein capsid yng berbentuk ikosahedral (Hirai serta Shimakura, 1974). Virus ini tergolong intern famili Birnaviridae. Sesuai yang dengannya namanya, virus terdiri dari 2 segmen utas ganda RNA, yakni segmen A mengantongi ukuran 3300 pasang basa, yng terdiri dari 2 bagian Open Reading Frame, yakni A1 serta A2.
PATOGENESIS Patogenesis merupakan jalannya virus menjadikan memicu lesi, yng bisa memicu kematian, penyakit ataupun efek imunosupresif pada ayam. Penyakit Gumboro (IBD) menyerang ayam umur 3 – 6 minggu pada era perkembangan bursa Fabricius mencapai optimum. Pada era yng percis antibodi asal induk tiba menurun, menjadikan ayam rentan terhadap infeksi virus IBD. Sebaliknya, penyakit Gumboro (IBD) tak membahayakan distribusi ayam yng sudah mengalami regresi bursa Fabricius, lantaran target sel virus IBD merupakan sel limfoid bursa Fabricius yng telah matang. Infeksi IBD memicu kerusakan pada bursa Fabricius yng berupa nekrosis serta apoptosis pada sel limosit B Infeksi pada biasanya menggunakan oral bersama pakan yng tercerna virus masuk ke intern usus. Virus lantas ditangkap oleh sel makrofag ataupun limfosit menjdai Antigen Precenting Cell (APC). Keberadaan IBD bisa dideteksi 13 jam paska infeksi pada sebagian besar folikel (Van Den Berg, 2000). Penyebab kematian belum diketahui secara pasti. Akan tetapi demikian pada fase akut teramati sindroma septic shock, dimana terlaksana respon imun yng berlebihan, yng ditandai yang dengannya peningkatan konsentrasi TNF-α yng berlebihan di intern serum darah ayam, yng lantas diikuti terjadinya kematian (Sharma et al. intern Asraf, 2005). Infeksi virus IBD yng ganas memicu kerusakan yng parah sampai-sampai terlaksana deplesi sel limfoid pada folikel bursa Fabricius, menjadikan ukuran bursa terlihat mengecil, sampai-sampai mencapai 1/4 – 1/5 dari ukuran bursa Fabricius pada ayam kontrol. Bila tak terlaksana penyembuhan pada bursa Fabricius ayam, mau memicu hambatan produksi antibodi yng dibentuk oleh sel B. Selain itu pada infeksi IBD kagak segelintir sel makrofag serta sel heterofil yng mengalami nekrosis serta apoptosis memicu fungsi fagositosis yng menurun (Lam, 1998). Kedua kondisi yang telah di sebutkan memicu ayam yng terinfeksi IBD selaku imunosupresif.
GEJALA KLINIS Gejala klinis yng terlihat Amat bergantung dari strain virus yng menginfeksi ayam, jumlah virus, umur, galur ayam, rute inokulasi serta keberadaan antibodi penetralisasi (Muller et al., 2003). Virus yng masuk ke intern tubuh ayam ditangkap makrofag, yng lantas melepaskan sitokin yng memicu respon inflamasi. Gejala klinis ditimbulkan oleh infeksi IBD merupakan ayam lesu, nafsu makan menghilang serta sayap menggantung (Park et al., 2009; Acribasi et al., 2010). Selain itu pun Suka didapati gejala diare, serta kotoran yng menempel pada kloaka (Parede et al., 2003). Pada ayam muda tanpa antibodi maternal, gejala klinis tiba terlihat pada 48 jam pi serta gejala klinis makin parah pada 56 – 72 jam paska infeksi (William serta Davison, 2005). Sementara itu, pada ayam yng divaksinasi, gejala klinis terlihat 3 hari pasca tantang, serta ayam-ayam yang telah di sebutkan mati sesudah 2 – 3 hari memperlihatkan gejala klinis (Park et al., 2009). Ayam yng bertahan hidup, pertumbuhan selaku terhambat serta Suka kali didapati infeksi sekunder semisal Newcastle Disease, Coli Bacillosis serta Coccidiosis (Muller et al., 2003). Wabah IBD akut yng penyebabnya yaitu virus IBD klasik yng menyerang ayam pedaging umur > 3 minggu ditandai yang dengannya bilangan morbiditas yng tinggi mau tetapi secara klinis terlihat ada penyembuhan sesudah 5 – 7 hari ayam sakit. Infeksi pada ayam yng mengantongi antibodi maternal menunjukan gejala subklinis, mau tetapi lesi bisa diamati secara histopatologik (Lukert serta Saif, 2003)

PENYEBARAN Penyebaran penyakit telah sampai ke Indonesia pada tahun 1983, disaat didapati kasus di Sawangan, Bogor (Partadiredja et al., 1983). Pada periode tahun 1990-an, penyakit IBD sudah menyebar ke aneka macam wilayah di Indonesia serta hasil isolasi serta identifikasi menunjukan bahwasanya hampir seluruh isolat yng diperoleh berkerabat dekat yang dengannya virus very virulent IBD (vvIBDv) (Parede et al., 2003). Penularan penyakit gumboro dari satu ayam ke ayam lain Amat cepat intern waktu singkat ( 18 - 36 jam) seluruh ayam intern sangkar bisa ketularan. Kematian terlaksana pada hari ke-3 sampai ke-5. Penybaran benih-benih penyakit menggunakan makanan,minuman minum, instrumen-instrumen serta tempat-tempat yng tercemar oleh feces serta makanan yng dimuntahkan. Virus penyakit gumboro stabil serta resisten, bisa dipindahkan satu tempat ketempat yng lain oleh orang, instrumen-instrumen peternakan yng tercemar. Sebuah peternakan yng pernah terjangkit Virus gumboro, maka Virus ini mau tetap infektip serta berdiam intern peternakan yang telah di sebutkan distribusi atau bisa juga dikatakan kepada waktu yng lama. Pendapat dari penelitian virus gumboro bisa hidup sampai 122 hari. Tak ada carrier (hewan yng sembuh serta mwngandung virus yng dapa6t ditularkan). Penyakit ini tak bisa dipindahkan menggunakan telur yng ditetaskan serta diduga pun tak bisa disebakan menggunakan udara.
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN Bisnis pencegahan serta pengendalian agar bisa gumboro tak mewabah merupakan: a. Melakukan sanitasi lingkungan secara terjadwal, yang dengannya disinfektan. b. Memberikan kondisi confortable pada ayam bertambah-bertambah pada masa brooder, suhu brooder sesuai yang dengannya kebutuhan putri ayam. Disesuaikan pun kondisi lingkungan, andaikan suhu lingkungan Amat panas suhu brooder mampu disesuaikan. Pemberian pakan mengantongi kualitas serta minum yang dengannya vitamin elektrolit serta anti strees. Perlakuan putri sangkar yng baik, lantaran andaikan perlakuan tak baik bisa menghasilkan stress pada ayam, yang dengannya stress bisa menurunkan system kekebalan tubuh. Pengendalian terhadap penyakit IBD yng efektif merupakan yang dengannya melakukan program vaksinasi yng teratur disertai yang dengannya program biosekuritas, diikuti yang dengannya deteksi titer antibodi distribusi atau bisa juga dikatakan kepada memahami kesuksesan vaksinasi yang dengannya uji serum netralisasi ataupun ELISA (Oie, 2008) 1. Vaksinasi Vaksinasi pada ayam pembibit ialah langkah terpenting distribusi atau bisa juga dikatakan kepada mengendalikan gumboro (IBD), lantaran antibodi yng diproduksi induk mau diturunkan menggunakan telur kepada putri. Antibodi maternal yang dengannya titer yng baik mau memproteksi ayam melawan penyakit gumboro (IBD). Menjdai semisal, program vaksinasi pada ayam petelur bisa di lakukan pada umur 12 sampai 15 hari yang dengannya vaksin IBD energik. Pada umur 30 – 33 hari yang dengannya vaksin IBD energik serta pada umur 85 hari yang dengannya vaksin inaktif, serta pada umur 120 hari yang dengannya vaksin inaktif (Butcher serta Milles, 2003). Vaksinasi ulang pada umur 38 – 40 minggu yang dengannya vaksin inaktif butuh di lakukan andai ayam pembibit mengantongi titer antibodi yng rendah ataupun tak seragam. Monitoring titer antibodi butuh di lakukan secara rutin distribusi atau bisa juga dikatakan kepada memahami apakah ayam sudah memberikan respon yng baik ataupun distribusi atau bisa juga dikatakan kepada memahami perangkat lunak vaksin telah di lakukan yang dengannya benar ataupun belum. Pencegahan serta pengendalian penyakit IBD pada ayam pedaging komersial dibutuhkan distribusi atau bisa juga dikatakan kepada mencegah penyakit IBD yng bersifat klinis. Ada tiga kategori vaksin yng digolongkan didasari patogenisitasnya yakni; mild, intermediate serta virulent. Tipe vaksin IBD intermediate paling umum dipakai. Vaksin ini bisa menstimulasi ayam pedaging intern memproduksi antibodi bertambah awal dari pada tipe vaksin mild, tanpa memicu kerusakan bursa Fabricius semisal pada tipe vaksin virulen (Oie, 2008). Waktu vaksinasi bergantung pada titer antibodi maternal pada putri ayam. Titer antibodi maternal yng tinggi mau menetralisasi virus yng bersumber dari vaksin. Jadi cuma kagak banyak respon kekebalan energik yng mau diperoleh, menjadikan ayam mau gampang terinfeksi penyakit lantaran antibodi menurun, serta vaksinasi boleh jadi selaku tak efektif andai ayam terkontaminasi yang dengannya virus IBD lapang yng bertambah virulen. Vaksinasi IBD pada embrio ialah pengganti vaksinasi yng memberikan keunggulan dibandingkan yang dengannya vaksinasi sesudah menetas yng umum dipakai. Hal ini penyebabnya yaitu lantaran pada vaksinasi in ovo, titer antibodi maternal tak butuh dimonitor distribusi atau bisa juga dikatakan kepada menetapkan kapan vaksinasi Perlu di lakukan. Selain itu, hasil penelitian menunjukan bahwasanya vaksinasi in ovo yang dengannya virus yng sudah diatenuasikan tak merusak bursa Fabricius serta bisa memberikan proteksi sampai-sampai 100% pada ayam yng ditantang pada umur 3 minggu (Moura et al., 2007). Meskipun vaksinasi memicu perubahan HP pada organ bursa mau tetapi penyembuhan bertambah cepat terlaksana pada ayam yng divaksin in ovo daripada yng divaksin pascamenetas (Rautenschlein serta Haase, 2005). Akan tetapi, kelemahan vaksin ini merupakan memerlukan instrumen vaksin masal serta ukuran telur yng seragam menjadikan perangkat lunak vaksin benar pada posisi yng dimau-kan. 2. Biosekuritas Selain vaksinasi pelaksanaan terhadap program biosekuritas yng pun ialah faktor penting intern meminimalkan kerugian akibat infeksi IBD. Cserep menyatakan bahwasanya pada peternakan yng bebas dari Gumboro subklinis mau memperoleh keuntungan 25% bertambah besar, dibandingkan pada peternakan yng didapati kasus gumboro subklinis (Cooper, 2011). Upaya distribusi atau bisa juga dikatakan kepada melaksanakan biosekuritas yang dengannya melakukan desinfeksi terhadap orang, perlengkapan ataupun kendaraan yng melintas antar sangkar pada ayam pedaging komersial butuh dikontrol menjadikan berjalan efektif distribusi atau bisa juga dikatakan kepada menurunkan paparan dari agen infeksi. Fenol serta formaldehid sudah terbukti efektif dipakai distribusi atau bisa juga dikatakan kepada desinfeksi sangkar serta lingkungan yng terkontaminasi. Antibiotik yang dengannya jumlah seminimal boleh jadi diberikan pada kasus gumboro (IBD) yng disertai infeksi sekunder oleh bakteri. Akan tetapi hal ini tak disarankan pada kasus yng disertai yang dengannya kerusakan ginjal yng Amat parah. Pemberian larutan elektrolit ataupun multivitamin Amat berguna pada kasus penyakit yng berlangsung lama yng disertai penurunan nafsu makan. Ventilasi yng baik, suhu ruangan yng Anget serta minuman minum yng bersih mau mengurangi kematian. Sesudah ayam dipanen, sangkar Perlu dikosongkan dari seluruh unggas. Seluruh litter, sisa pakan Perlu dibuang, sangkar Perlu dibersihkan serta didesinfeksi. Fumigasi butuh di lakukan mempergunakan formaldehyde serta Kalium permanganat. Sangkar Perlu dikosongkan minimal 3 minggu sesudah di lakukan fumigasi, distribusi atau bisa juga dikatakan kepada bisa dipakai lagi.
KESIMPULAN Penyakit gumboro (IBD) ialah penyakit viral yng bersifat infeksius serta menular, memicu efek imunosupresif. Kerugian ekonomi yng ditimbulkan Amat besar lantaran memicu kegagalan program vaksinasi. Diagnosis bisa di lakukan didasari perubahan patologik yng diperkuat yang dengannya deteksi antigen virus yang dengannya teknik IHK. Pencegahan yang dengannya memberikan vaksinasi sudah rutin di lakukan, mau tetapi kasus masih Suka terlaksana. Penggunaan vaksin yng potensial serta diberikan pada era antibodi maternal telah menurun ataupun yang dengannya mempergunakan vaksin in ovo yng era ini telah bisa didapati di pasaran, diharapkan bisa mengurangi kasus yng terlaksana di lapangan. Telah saatnya dibuat vaksin isolat lokal yng diharapkan bertambah protektif dibandingkan yang dengannya vaksin isolat luar, lantaran sesuai yang dengannya virus yng ada di lapang.
Postingan ini ane resume dari makalah milik : Wahyuwardani, S., Agungpriyono, Parede, L., Manulu, w., 2011. Penyakit Gumboro: Etiologi, Epidemiologi, Patologi, Diagnosis Serta Pengendaliannya. Wartazoa Vol. 21 No. 3.
DAFTAR PUSTAKA Acribasi, M., A. Jung, E.D. Heller And S. Rautenschlein. 2010. Differences In Genetic Background Influence The Induction Of Innate And Acquired Immune Responses In Chickens Depending On The Virulence Of The Infecting Infectious Bursal Disease Virus (Ibdv) Strain. Vet. Immunol. Immunopathol. 135: 79 – 92. Asraf, S. 2005. Studies On Infectious Bursal Disease Virus. Disertasi.The Ohio University. Ohio. Butcher, G.D. And R.D. Milles. 2003. Infectious Bursal Disease (Gumboro) In Commercial Broilers. Http://Edis.Ifas.Ufl.Edu. (27 Oktober 2008). Currie, R.J.W. 2002. The Use Of A Rt-Pcr/ Rflp Test To Diagnose Ibd Variant Viruses: Implications For Vaccination Programmes Congresso De Ciências Veterinárias Proc. Of The Veterinary Sciences Congress, 2002, Spcv, Oeiras, 10 – 12 Oct. P. 249 Cooper, O. 2011. Biosecurity Key To Beating Gumboro. Poult World 165: 5 Proquest Agriculture J. P. 32. Hamoud, M.M. And P. Villegas. 2006. Identification Of Infectious Bursal Disease Viruses From Rna Extracted From Paraffin-Embedded Tissue. Avian Dis. 50: 476 – 482 Hirai, K, And S. Shimakura. 1974. Structure Of Infectious Bursal Disease Virus. J. Virol. 14: 957 – 964. Lam, K.M. 1998. Alteration Of Chicken Heterophil And Macrophage Functions By The Infectious Bursal Disease Virus. Microb. Pathogen 25: 147 – 155. Lukert, P.D. And Y.M. Saif. 2003. Infectious Bursal Disease. In: Diseases Of Poultry 11Th Ed. Saif, Y.M., H.J. Barnes And J.R. Glisson (Eds.). Iowa State University Press. Pp. 161 – 17. Moura, L., V.V. Vakharia, M. Li And H. Song. 2007. In Ovo Vaccine Against Infectious Bursal Disease. Int. J. Poult. Sci. 6: 770 – 775 Muller, H., M.R. Islam And R. Raue. 2003. Research On Infectious Bursal Disease-The Past, The Present And The Future. Vet. Microbiol. 97: 153 – 156. Oie (Office International Des Epizooties). 2008. Infectious Bursal Disease (Gumboro Disease). In: Terrestrial Manual. Chapter 2.3.12 Oladele, O.A., D.F. Adene, T.U. Obi And H.O. Nottidge. 2009. Comparative Susceptibility Of Chickens, Turkeys And Ducks To Infectious Bursal Disease Virus Using Imunohistochemistry. Vet. Res. Commun. 33: 112 – 121. Parede, L.H., S. Sapats, G. Gould, M. Rudd, S. Lowther, And J. Ignjatovic 2003. Characterization Of Infectious Bursal Disease Virus Isolates From Indonesia Indicates The Existence Of Very Virulent Strains With Unique Genetic Changes. Avian Pathol. 32: 511 – 518. Park, J.H., H.W. Sung, B.Ii. Yoon And H.M. Kwon. 2009. Protection Of Chicken Against Very Virulent Ibdv Provided By In Ovo Priming With Dna Vaccine And Boosting With Killed Vaccine And Adjuvant Effects Of Plasmid-Encoded Chicken Interleukin-2 And Interferon-Γ. J. Vet. Sci. 10(2): 131 – 139 Partadiredja, M., W. Rumawas Serta I. Suharyanto. 1983. Penyakit Gumboro Di Indonesia Serta Akibatnya Bagi Peternak Ayam. Hemerazoa 71(1): 29 – 33. Rautenschlein, S., C.H. Kraemer, J. Vanmarcke And E. Montiel. 2005. Protective Efficacy Of Intermediate And Intermedieate Plus Infectious Bursal Disease Virus (Ibdv) Vaccines Against Very Virulent Ibdv In Commercial Broilers. Avian Dis. 49: 231 – 237. Van Den Berg, T.P. 2000. Acute Infectious Bursal Disease In Poultry: A Review. Avain Pathol. 29: 175 – 194. William, A.E. And T.F. Davison. 2005. Enhanced Immunopathology Induced By Very Virulent Infectious Bursal Disease Virus. Avian Pathol. 34: 4 – 14.
Komentar
Posting Komentar